Senin, 21 April 2014

Tulisan para mentor dalam rangka setahun MAIL (dalam majalah MAIL 2):



ANAK-ANAK ITU BEGITU  MENJERATKU
Oleh: Bunda Sari
                Fragment 1:
                Anak-anak itu berlarian, mereka senang sekali bergerak. Bahkan tak bisa duduk tenang dan diam saat pembelajaran berlangsung. Kadang diantara mereka melamun, kadang matanya menatap hal lain-bukan aku,ataupun papan tulis. Mereka adalah anak-anak kinestetik, anak-anak alam yang lebih banyak dibesarkan oleh lingkunganya, bukan orangtuanya.
                Jika anak-anak semacam itu kita labeli “nakal”, dan kita dengan sengaja mengatakan bahwa anak-anak seperti itu tidak akan mungkin bisa dididik dengan baik, tidak akan bisa menjadi pintar, sehingga menghindar dari mendidik dan mengajari anak semacam itu; bagaimanakah mereka akan berkembang dan mengetahui hal-hal yang baik?
                Fragment 2:
                Anak-anak itu, mereka berangkat ke sekolah setiap hari. Di SD Negeri yang masih terletak di desa mereka. Untuk yang tinggal agak jauh di desa Bendorayut, Suruh, dan Kalimati, mereka harus rela berjalan kaki dulu dengan “medan” yang luar biasa sejauh 3-5 km dari kediaman mereka. Setibanya di sekolah, guru mereka terkadang belum datang, datangpun lebih sering tidak memberi pelajaran sesuai kurikulum. Kelas lebih sering ditinggal kosong, pak Guru pun ngopi di kantor. Istirahat bisa sampai lebih dari setengah jam, jam sebelas atau setengah dua belas mereka sudah dipulangkan.
                Apa yang mereka dapatkan di sekolah? “Di sekolahku, pelajaran bahasa Inggris ndak ada gurunya Bund.” “Bu guru loh bilang 1 pangkat tujuh itu tujuh Mbak,” celoteh anak-anak itu. “IPS nya gak diajarin yang ini kok Bund..”.Begitulah, mereka bersekolah, kadang dengan perjuangan yang luar biasa. Dan mereka bukanlah anak-anak bodoh, yang tak sanggup mencerna pelajaran. Tapi kondisi sekolah dan lingkungan membuat mereka –yang bersekolah di SD Negeri itu – selama ini mendapatkan hasil Ujian Nasional yang pas-pasan.
                Apakah salah anak-anak itu jika hasil Ujian Nasional mereka pas-pasan? Tentu bukan. Lalu apakah akan kita biarkan mereka mendapatkan pendidikan ala kadarnya, sedangkan diantara mereka ada anak-anak yang kepandaiannya istimewa?





                Fragment 3:
                Sebentar lagi Ujian Nasional, anak-anak itu terlihat santai saja menghadapi momen Ujian pertama terbesar dalam “karir pendidikan” mereka. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh lingkungan mereka yang memang belum merasa pendidikan menjadi bagian terpenting dari kehidupan manusia. Hal yang sehari-hari dilihat anak-anak itu adalah “senior” mereka yang lulus SD menikah, punya anak lalu kerja serabutan. Atau, melanjutkan ke SMP/MTs yang jaraknya sekitar 13,5 km tapi lebih sering bolosnya, main-main di sekolah, dan kemudian luluspun syukur bisa melanjutkan, kalau tidakpun bekerja serabutan. Sedangkan yang lainnya, tidak melanjutkan sekolah, bekerja serabutan, atau nongkrong-nongkrong di warung. Dengan lingkungan yang sedemikian, maka wajar toh anak-anak itu merasa Ujian Nasional itu ya “bukan apa-apa”.
                Pun sekolah menambah parah “kesantaian” mereka. Guru mereka di sekolah, jauh-jauh hari sebelum Ujian Nasional sudah “melegalkan” NYONTEK BERSAMA buat mereka. Anak-anak itu bercerita bahwa sering sekali guru mereka menyarankan,”nanti kalau Ujian, nyontek ndak apa-apa. Lihat buku juga ndak apa-apa. Asal jangan ramai, jangan ribut.”
                Bagaimana mungkin saran yang demikian membuat anak bersemangat untuk belajar? Untuk berusaha? 





Lalu, siapakah yang akan membenahi mindset (cara berpikir) mereka itu? Siapa yang akan menyadarkan arti moralitas dalam kehidupan anak-anak itu, jika sekolah saja gagal memainkan perannya untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan?
                Fragment 4:
                Anak-anak itu, sehari-harinya lebih banyak dididik oleh orang-orang di sekitar mereka. Kebanyakan dari mereka, orangtuanya bekerja mencari kayu sampai ke tengah hutan, dan baru kembali di sore hari setelah asar. Praktis mereka jarang berinteraksi dengan anak-anak mereka.
                Bagi orangtua yang di rumahpun, mereka belum tentu dapat “berdekatan” dan “berbagi nilai-nilai” kehidupan pada anak-anak mereka. Pertama, mereka disibukkan dengan urusan rumah tangga. Dan kedua, mereka tidak tahu; juga tidak mengerti bagaimana menjalin kedekatan atau berbagi nilai-nilai kehidupan dengan anak-anak mereka. Kehidupan mereka yang 24 jam sehari, 7 hari seminggu berada di lingkungan tengah hutan, membuat mereka “tidak banyak” tahu perkembangan dunia luar. Para oranng tua itu, mana tahu mereka tentang psikologi anak, mana tahu mereka tentang tumbuh-kembang anak, mana tahu mereka tentang cara-cara mendampingi anak belajar, mana tahu mereka tentang masa emas perkembangan otak anak, mana tahu mereka tentang otak kiri-otak kanan berikut cara menstimulusnya.
                Mereka mana tahu apa yang menjadi kurikulum/materi pelajaran anak-anak mereka di sekolah. Mereka tidak ada yang mengingatkan bahwa orangtua sesungguhnya menjadi “model” bagi anak-anaknya dan orang tualah yang sebenarnya menjadi “pendidik utama” bagi anak-anak mereka di rumah.
                Lalu, apakah salah mereka semata karena tidak tahu semua itu? Toh, kebanyakan dari mereka hanyalah lulusan SD, dan mereka sudah terbebani dengan urusan mencari nafkah untuk keluarga. Mereka tidak mungkin punya pemikiran untuk mendatangkan psikolog anak, atau praktisi perkembangan anak, atau berkonsultasi dengan para ahli untuk berbagi cara mendidik anak-anak mereka. Pun tidak bisa berharap mereka dengan kesadaran sendiri membaca buku-buku tentang psikologi dan perkembangan anak sebagai tambahan pengetahuan dalam mendidik anak-anak.
                Berbeda sekali dengan kondisi orangtua di kota, yang mereka selalu up-date hal-hal tentang pendidikan dan perkembangan anak. Mereka bisa ikut pelatihan, seminar, workshop tentang anak-anak yang menjamur diadakan oleh sekolah, EO, ataupun lembaga-lembaga pelatihan. Orang tua di kota yang sibuk dan tidak dapat mendampingi anak belajar, dapat dengan mudah memasukkan anak-anaknya di bimbingan belajar bonafide agar anak-anak mereka lebih pintar. Mereka dapat membeli buku-buku terkait psikologi anak, bisa membeli rekaman/video cara-cara bermain atau menstimulus otak anak. Mereka bisa mendapatkan dan membeli beragam sarana bermain dan pendidikan untuk anak-anak mereka.
                Jadi, akankah kita salahkan “nasib” dari anak-anak itu yang lahir dari orangtua yang tinggal di tengah hutan? Akankah kita Cuma bisa menyalahkan “takdir” anak-anak itu yang terlahir dari orangtua yang tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa tentang pendidikan? Tidakkah ada sedikit rasa simpati dan belas kasih kita pada mereka?
                Fragment 5:
                Anak-anak itu malu-malu ketika diantara mereka diminta untuk melantunkan adzan. Kebanyakan dari mereka mengatakan tidak bisa. Ada lagi yang berkata takut salah. Dan akhirnya, yang adzan adalah salah satu mentor MAIL.
                Bukan salah anak-anak itu sudah kelas 5 atau 6 SD tak bisa adzan. Mereka tidak biasa mendengarkan lafadz 








adzan itu. Satu-satunya masjid yang berdiri di desa mereka, boleh dibilang “tidak pernah” digunakan untuk sholat rutin. Masjid hanya ramai saat tarawih-di malam-malam awal- dan saat sholat ied satu tahun dua kali. Selebihnya, masjid sangat jarang digunakan untuk sholat berjama’ah.
                Para orang tua di sana terbiasa berangkat pagi ke hutan untuk mencari kayu ataupun bertani dan kembali sore hari menjelang magrib. Sedangkan remaja-remajanya sangat-sangat sedikit (untuk tidak menyebut tidak ada) yang menunaikan sholat di masjid. Dan anak-anak itu, dari siapa mereka mendengarkan lafadz adzan? Dari siapa mereka belajar tentang sholat, bacaan dan gerakannya? Siapa yang akan mengajari mereka tentang keutamaan sholat berjamaah? Sementara orang-orang di sekitar mereka tidak memberi contoh tentang hal itu?
               
Begitulah, kurang lebih kondisi anak-anak sumbermiri itu. Tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka atas banyak ketidaktahuan yang mereka miliki. Tak bisa semua kesalahan dibebankan kepada masyarakat desa itu, sebab sesungguhnya mereka “ada” di sekitar kita. Mereka hidup “bersama” kita, sedangkan kita lebih sering abai dan kecil peduli terhadap nasib anak-anak yang seperti itu. Padahal merekalah calon pemimpin bangsa ini, merekalah calon pemimpin di masa depan.
                Kesemua hal itulah yang membuatku “terjerat”, jatuh hati pada anak-anak lugu, lucu dan kinestetis itu. Bahkan aku seringkali lupa bahwa jarak antara aku dan mereka sebenarnya cukup jauh. Pun aku seringkali lupa bahwa waktu yang kupakai untuk menemui mereka terkadang dipandang orang amat berlebihan dalam semesta waktu kehidupanku.
                Biarlah...dan memang hanya itu yang bisa kulakukan untuk anak-anak istimewa dan hebat itu. Bahkan sekalipun aku bermimpi dapat memberi lebih, dan lebih, dan lebih lagi bagi mereka...toh aku harus segera tersadar atas realita bahwa aku tak se-“super” yang aku mau. Bahwa banyak keterbatasan-keterbatasan yang kulakukan. Dan Cuma bersama anak-anak itu, sedikit berbagi ilmu dan nilai, membimbing mereka hal-hal kecil, membuatku sadar...bahwa di belahan bumi lain di negri ini, masih banyak anak-anak yang bernasib sama seperti mereka, dan entahlah bagaimana keadaannya mereka itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar