ANAK-ANAK
ITU BEGITU MENJERATKU
Oleh: Bunda Sari
Fragment 1:
Anak-anak itu
berlarian, mereka senang sekali bergerak. Bahkan tak bisa duduk tenang dan diam
saat pembelajaran berlangsung. Kadang diantara mereka melamun, kadang matanya
menatap hal lain-bukan aku,ataupun papan tulis. Mereka adalah anak-anak
kinestetik, anak-anak alam yang lebih banyak dibesarkan oleh lingkunganya,
bukan orangtuanya.
Jika anak-anak semacam
itu kita labeli “nakal”, dan kita dengan sengaja mengatakan bahwa anak-anak seperti
itu tidak akan mungkin bisa dididik dengan baik, tidak akan bisa menjadi
pintar, sehingga menghindar dari mendidik dan mengajari anak semacam itu;
bagaimanakah mereka akan berkembang dan mengetahui hal-hal yang baik?
Fragment 2:
Anak-anak itu, mereka
berangkat ke sekolah setiap hari. Di SD Negeri yang masih terletak di desa
mereka. Untuk yang tinggal agak jauh di desa Bendorayut, Suruh, dan Kalimati,
mereka harus rela berjalan kaki dulu dengan “medan” yang luar biasa sejauh 3-5
km dari kediaman mereka. Setibanya di sekolah, guru mereka terkadang belum
datang, datangpun lebih sering tidak memberi pelajaran sesuai kurikulum. Kelas
lebih sering ditinggal kosong, pak Guru pun ngopi
di kantor. Istirahat bisa sampai lebih dari setengah jam, jam sebelas atau
setengah dua belas mereka sudah dipulangkan.
Apa yang mereka
dapatkan di sekolah? “Di sekolahku, pelajaran bahasa Inggris ndak ada gurunya
Bund.” “Bu guru loh bilang 1 pangkat tujuh itu tujuh Mbak,” celoteh anak-anak
itu. “IPS nya gak diajarin yang ini kok Bund..”.Begitulah, mereka bersekolah,
kadang dengan perjuangan yang luar biasa. Dan mereka bukanlah anak-anak bodoh,
yang tak sanggup mencerna pelajaran. Tapi kondisi sekolah dan lingkungan
membuat mereka –yang bersekolah di SD Negeri itu – selama ini mendapatkan hasil
Ujian Nasional yang pas-pasan.
Apakah salah anak-anak
itu jika hasil Ujian Nasional mereka pas-pasan? Tentu bukan. Lalu apakah akan
kita biarkan mereka mendapatkan pendidikan ala kadarnya, sedangkan diantara
mereka ada anak-anak yang kepandaiannya istimewa?
Fragment 3:
Sebentar lagi Ujian Nasional, anak-anak itu terlihat
santai saja menghadapi momen Ujian pertama terbesar dalam “karir pendidikan”
mereka. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh lingkungan mereka yang memang belum
merasa pendidikan menjadi bagian terpenting dari kehidupan manusia. Hal yang
sehari-hari dilihat anak-anak itu adalah “senior” mereka yang lulus SD menikah,
punya anak lalu kerja serabutan. Atau, melanjutkan ke SMP/MTs yang jaraknya
sekitar 13,5 km tapi lebih sering bolosnya, main-main di sekolah, dan kemudian
luluspun syukur bisa melanjutkan, kalau tidakpun bekerja serabutan. Sedangkan
yang lainnya, tidak melanjutkan sekolah, bekerja serabutan, atau
nongkrong-nongkrong di warung. Dengan lingkungan yang sedemikian, maka wajar
toh anak-anak itu merasa Ujian Nasional itu ya “bukan apa-apa”.
Pun sekolah menambah
parah “kesantaian” mereka. Guru mereka di sekolah, jauh-jauh hari sebelum Ujian
Nasional sudah “melegalkan” NYONTEK BERSAMA buat mereka. Anak-anak itu
bercerita bahwa sering sekali guru mereka menyarankan,”nanti kalau Ujian,
nyontek ndak apa-apa. Lihat buku juga ndak apa-apa. Asal jangan ramai, jangan
ribut.”
Bagaimana mungkin
saran yang demikian membuat anak bersemangat untuk belajar? Untuk berusaha?
Lalu, siapakah yang akan membenahi mindset (cara
berpikir) mereka itu? Siapa yang akan menyadarkan arti moralitas dalam
kehidupan anak-anak itu, jika sekolah saja gagal memainkan perannya untuk
menanamkan nilai-nilai kebaikan?
Fragment 4:
Anak-anak itu, sehari-harinya
lebih banyak dididik oleh orang-orang di sekitar mereka. Kebanyakan dari
mereka, orangtuanya bekerja mencari kayu sampai ke tengah hutan, dan baru
kembali di sore hari setelah asar. Praktis mereka jarang berinteraksi dengan
anak-anak mereka.
Bagi orangtua yang di
rumahpun, mereka belum tentu dapat “berdekatan” dan “berbagi nilai-nilai”
kehidupan pada anak-anak mereka. Pertama, mereka disibukkan dengan urusan rumah
tangga. Dan kedua, mereka tidak tahu; juga tidak mengerti bagaimana menjalin
kedekatan atau berbagi nilai-nilai kehidupan dengan anak-anak mereka. Kehidupan
mereka yang 24 jam sehari, 7 hari seminggu berada di lingkungan tengah hutan,
membuat mereka “tidak banyak” tahu perkembangan dunia luar. Para oranng tua
itu, mana tahu mereka tentang psikologi anak, mana tahu mereka tentang
tumbuh-kembang anak, mana tahu mereka tentang cara-cara mendampingi anak
belajar, mana tahu mereka tentang masa emas perkembangan otak anak, mana tahu
mereka tentang otak kiri-otak kanan berikut cara menstimulusnya.
Mereka mana tahu apa
yang menjadi kurikulum/materi pelajaran anak-anak mereka di sekolah. Mereka
tidak ada yang mengingatkan bahwa orangtua sesungguhnya menjadi “model” bagi
anak-anaknya dan orang tualah yang sebenarnya menjadi “pendidik utama” bagi anak-anak
mereka di rumah.
Lalu, apakah salah
mereka semata karena tidak tahu semua itu? Toh, kebanyakan dari mereka hanyalah
lulusan SD, dan mereka sudah terbebani dengan urusan mencari nafkah untuk
keluarga. Mereka tidak mungkin punya pemikiran untuk mendatangkan psikolog
anak, atau praktisi perkembangan anak, atau berkonsultasi dengan para ahli
untuk berbagi cara mendidik anak-anak mereka. Pun tidak bisa berharap mereka
dengan kesadaran sendiri membaca buku-buku tentang psikologi dan perkembangan
anak sebagai tambahan pengetahuan dalam mendidik anak-anak.
Berbeda sekali dengan
kondisi orangtua di kota, yang mereka selalu up-date hal-hal tentang pendidikan
dan perkembangan anak. Mereka bisa ikut pelatihan, seminar, workshop tentang
anak-anak yang menjamur diadakan oleh sekolah, EO, ataupun lembaga-lembaga
pelatihan. Orang tua di kota yang sibuk dan tidak dapat mendampingi anak
belajar, dapat dengan mudah memasukkan anak-anaknya di bimbingan belajar
bonafide agar anak-anak mereka lebih pintar. Mereka dapat membeli buku-buku
terkait psikologi anak, bisa membeli rekaman/video cara-cara bermain atau
menstimulus otak anak. Mereka bisa mendapatkan dan membeli beragam sarana
bermain dan pendidikan untuk anak-anak mereka.
Jadi, akankah kita
salahkan “nasib” dari anak-anak itu yang lahir dari orangtua yang tinggal di
tengah hutan? Akankah kita Cuma bisa menyalahkan “takdir” anak-anak itu yang
terlahir dari orangtua yang tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa tentang
pendidikan? Tidakkah ada sedikit rasa simpati dan belas kasih kita pada mereka?
Fragment 5:
Anak-anak itu malu-malu ketika diantara mereka
diminta untuk melantunkan adzan. Kebanyakan dari mereka mengatakan tidak bisa.
Ada lagi yang berkata takut salah. Dan akhirnya, yang adzan adalah salah satu
mentor MAIL.
Bukan salah anak-anak
itu sudah kelas 5 atau 6 SD tak bisa adzan. Mereka tidak biasa mendengarkan
lafadz
adzan itu. Satu-satunya masjid yang berdiri di desa mereka, boleh dibilang
“tidak pernah” digunakan untuk sholat rutin. Masjid hanya ramai saat tarawih-di
malam-malam awal- dan saat sholat ied satu tahun dua kali. Selebihnya, masjid
sangat jarang digunakan untuk sholat berjama’ah.
Para orang tua di sana
terbiasa berangkat pagi ke hutan untuk mencari kayu ataupun bertani dan kembali
sore hari menjelang magrib. Sedangkan remaja-remajanya sangat-sangat sedikit
(untuk tidak menyebut tidak ada) yang menunaikan sholat di masjid. Dan
anak-anak itu, dari siapa mereka mendengarkan lafadz adzan? Dari siapa mereka
belajar tentang sholat, bacaan dan gerakannya? Siapa yang akan mengajari mereka
tentang keutamaan sholat berjamaah? Sementara orang-orang di sekitar mereka
tidak memberi contoh tentang hal itu?
Begitulah, kurang lebih
kondisi anak-anak sumbermiri itu. Tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka atas
banyak ketidaktahuan yang mereka miliki. Tak bisa semua kesalahan dibebankan
kepada masyarakat desa itu, sebab sesungguhnya mereka “ada” di sekitar kita.
Mereka hidup “bersama” kita, sedangkan kita lebih sering abai dan kecil peduli
terhadap nasib anak-anak yang seperti itu. Padahal merekalah calon pemimpin
bangsa ini, merekalah calon pemimpin di masa depan.
Kesemua hal itulah
yang membuatku “terjerat”, jatuh hati pada anak-anak lugu, lucu dan kinestetis
itu. Bahkan aku seringkali lupa bahwa jarak antara aku dan mereka sebenarnya
cukup jauh. Pun aku seringkali lupa bahwa waktu yang kupakai untuk menemui
mereka terkadang dipandang orang amat berlebihan dalam semesta waktu
kehidupanku.
Biarlah...dan memang
hanya itu yang bisa kulakukan untuk anak-anak istimewa dan hebat itu. Bahkan
sekalipun aku bermimpi dapat memberi lebih, dan lebih, dan lebih lagi bagi
mereka...toh aku harus segera tersadar atas realita bahwa aku tak se-“super”
yang aku mau. Bahwa banyak keterbatasan-keterbatasan yang kulakukan. Dan Cuma
bersama anak-anak itu, sedikit berbagi ilmu dan nilai, membimbing mereka
hal-hal kecil, membuatku sadar...bahwa di belahan bumi lain di negri ini, masih
banyak anak-anak yang bernasib sama seperti mereka, dan entahlah bagaimana
keadaannya mereka itu...